Sabtu, 16 November 2013

Harapan yang Seperti Jalan Setapak

"Harapan adalah seperti jalan di
daerah pedalaman, pada awalnya
tidak ada jalan setapak semacam
itu, namun sesudah banyak
orang berjalan di atasnya, jalan
itu tercipta.”

Lu Xun, seorang penulis asal China pernah menulis sepenggal kalimat ini. Ini mungkin pas banget buat kamu yang memang tengah merasa berharap terhadap satu keinginan. Coba deh, perhatikan kalimatnya baik-baik. 


Bagi kamu yang suka jalan-jalan ke daerah-daerah pedalaman (emang ada ya hobi kaya gini?) atau suka menjelajah alam, misal naik gunung mungkin nggak bakalan susah buat nemuin satu jalan setapak. Pernah berpikir gimana satu jalan bagus sekarang itu dibikin? Ya, pasti butuh perjuangan berat buat membuka tanah kosong untuk membuat satu jalan sampai akhirnya bisa dengan enak dilewati.

Bayangkan kamu lagi ada di hutan yang lebat (kalau mau sambil merem silakan), di mana sejauh mata memandang hanya terlihat tetumbuhan dan dedaunan yang jatuh di tanah. Satu hutan lebat, awalnya tentu tidak tersedia jalan setapak sekalipun di sana. Sampai ada 1 orang saja yang mau 'membelah' hutan tersebut. Mungkin awalnya memang terlihat susah untuk 'membelah' hutan seperti itu. Jelas saja, tidak tersedia jalan untuk lewat dan pasti ada gangguan-gangguan lain seperti misalnya kayu-kayu tajam, bebatuan, dan lain sebagainya. 

Tapi, jika 1 orang tadi mau memulai untuk menginjakkan kaki membelah hutan itu, lalu diikuti dengan orang-orang berikutnya pada akhirnya satu jalan akan terbentuk. Ya, satu jalan bekas tapak kaki orang-orang biasa lewat akan terbentuk. 

Begitu juga harapan, kawan...

Hidup seperti hutan lebat itu. Peluang untuk membuka harapan di kehidupan sama kayak peluang membuka jalan di satu hutan. Kita harus mau memulai untuk menciptakan harapan itu dengan banyak-banyak mencoba dengan usaha. 

Misalnya nih, kamu lagi pengen banget nerbitin buku. Mungkin awalnya, kamu melihat itu sebagai satu hal yang susah. Atau satu hal mustahil yang tidak mungkin kamu lakukan. Tapi, hey... jika kamu masih memandang hidup dengan cara yang seperti ini, rugi sekali bro! Buat apa hidup kalau pesimis? haha...

Ya, memang itu nggak gampang. Nggak serta merta setelah kamu ngumpulin tulisan-tulisan kamu terus dikirim ke penerbit, lalu disetujui untuk terbit dan jadilah sebuah buku. Tapi, dengan hanya kamu melihat peluang yang ada di depan mata, tanpa mau mencoba untuk publish tulisan-ulisan kamu, ini tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali angan-angan yang akan berakhir hampa. Lain cerita kalau kamu mau mencoba untuk mengirimkan naskah-naskah kamu itu, lalu berikhtiar dengan sungguh-sungguh. Mungkin awalnya akan pahit dan gangguan-gangguan untuk terbukanya satu jalan itu memang besar. Peluang untuk berhasilnya tercipta satu buku menjadi lebih besar.

Percayalah kawan. Harapan itu muncul dari serangkaian percobaan untuk memanfaatkan peluang. Peluang-peluang yang ada di depan mata kita.



Minggu, 10 November 2013

Bagaimana Jika Hidup Bisa Dimodelkan?


"Memodelkan alam adalah satu cara untuk mendekati fenomena-fenomena yang terjadi di alam dengan beberapa pendekatan-pendekatan. Bagimana jika hidup dapat dimodelkan secara matematis?"

Dalam beberapa hari ini, saya sedang disibukkan dengan sebuah praktikum pemodelan di kuliah saya. Sedikit info, kuliah saya memang sangat identik dengan yang namanya pemodelan. Pemodelan yang saya maksud di sini adalah semacam memodelkan fenomena-fenomena fisik dan dinamis yang terjadi di lingkungan laut secara numerik. Tujuan akhir dari pemodelan ini adalah terbentuknya satu model sederhana mengenai proses-proses tersebut yang nantinya akan sangat berguna untuk keperluan analisis proses-proses yang terjadi di medan yang sebenarnya.

Laut, sebagaimana komponen alam yang lain adalah satu objek yang begitu kompleks. Banyak proses terjadi di sana, yang sebenarnya tidak bisa untuk kita bahasakan dengan tingkat keakuratan 100%. Karena yang seperti itu benar-benar tidak mungkin. Lalu, jika kita sudah tau hal yang demikian, untuk apa kita melakukan pemodelan?

Minggu, 03 November 2013

Senja Hari Ini


Minggu lalu, jadwal saya sedang ramai-ramainya. Mulai dari jadwal akademis (yang karena memang lagi musim UTS), jadwal asisten, serta untuk urusan himpunan jurusan. 

Di tengah-tengah minggu yang super padat ini, tentu saya harus bisa mengatur waktu hidup saya sebaik mungkin, jika ingin semua urusan berjalan lancar, dengan hasil yang baik tentunya. Saya mengerti betul bahwa di dunia ini, masing-masing dari kita mempunyai slot waktu yang sama setiap harinya (rata-rata selama 24 jam). Dan salah satu seni dalam hidup ini adalah bagaimana cara kita untuk memanfaatkan slot waktu tersebut.

Bicara soal memanfaatkan 24 jam waktu dalam sehari semalam, saya ingin mengoceh sedikit mengenai hal ini. Permasalahan ketika kita menghadapi minggu-minggu sibuk adalah bukan dengan mengurangi plan yang menumpuk. Oke, saya berpikir sebisa-bisanya jangan sampai kita menjadikan itu sebagai opsi utama. Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan saat minggu sibuk? Saya lebih senang dengan mengurangi jam tidur saya untuk mengerjakan hal-hal yang menjadi beban sehingga menjadikan hari-hari kita sebagai hari sibuk. Dan, singkatnya semua agenda di minggu sibuk itu dapat saya lewati dengan hasil yang cukup baik.

***

Selasa, 30 Juli 2013

Dunia Anak, Dunia yang Sederhana


Dan hal penting yang membedakan antara anak-anak dan orang dewasa adalah tingkat kerumitan dari sisi memandang hidup. Secara naluriah, orang dewasa selalu melihat dunia ini dengan cara yang rumit, di mana untuk mencapai hasil yang sederhana, mereka memerlukan banyak asumsi untuk menyederhanakannya. Ini berbeda dengan anak-anak. Dunia mereka benar-benar sederhana secara naluriah. Tanpa asumsi, tanpa penyederhanaan lagi. Tertawa, berlari kesana-kemari, bermain, berteriak, juga menjerit menangis hanya untuk meminta mainan ke orang tua.
***

Sabtu, 20 Juli 2013

Saatnya Keluar dari Zona Nyaman

Malam telah berakhir untuk hari kemarin. Pagi akan segera datang dengan satu sambutan hangat dari mentari di ufuk timur. Sedikit embun pagi terasa membasahi kaca jendela kamar. Ia, embun itu adalah suatu tanda siraman kecil untuk jiwa-jiwa yang kerdil yang tak menyukai pagi datang. Melewatkan momen berharga menyaksikan hadirnya tetesan embun pagi adalah hal yang bodoh bagi mereka yang mau maju. Sejenak setelah berada pada kenyamanan di kala malam kemarin menjadi alasan kuat untuk bermalas-malasan memulai sesuatu yang baru di hari ini. Kita sudah berada di zona nyaman.

Hawa malas bisa jadi menjadi pemicu utama, dan melihat matahari pagi setelah terlelap dalam tidur malam kemarin menjadi sesuatu yang terlihat begitu menyebalkan. Kita boleh saja mempunyai mimpi selangit, tak ada satu pun yang melarang. Tapi ketahuilah mimpi saja tak cukup. “Mimpi saja, mimpi! Mimpi terus sampai mampus!” begitu mungkin gertakan orang-orang yang kolot kepada orang yang hanya bisa bermimpi tapi realisasinya nol. Kalau boleh saya katakan, mimpi yang tanpa disertai action sama saja dengan khayalan. 11-12, bisa saya katakan demikian.