Minggu, 06 Januari 2013

Berpindah, Bukan Berpisah



Jepara, 05/01/13

Dalam sebuah perjalanan menuju kota perantauan, Bandung...

Sore ini terasa begitu berbeda. Saya harus rela untuk meninggalkan zona nyaman saya di rumah. Persoalan akademik demi memperoleh perbaikan nilai salah satu mata kuliah memaksa saya untuk meninggalkan masa liburan di rumah. Ini musim liburan semester ganjil untuk mahasiswa ITB. Dan tampaknya liburan semester pendek tidak terlalu menggembirakan bagi anak rantau. Alasannya jelas, kurang lama dan cepat habis.

Mungkin ada banyak cara bagi semua manusia untuk menikmati masa liburannya. Ada yang senang menikmatinya dengan berlibur di sebuah pendakian, menikmati sebuah perjalanan sebagai seorang pelancong atau travelling, atau bahkan ada juga yang mengisinya dengan kegiatan-kegiatan lain.

Bagi saya, seorang anak rantau, liburan adalah timing yang pas untuk dinikmati di di rumah. Menghabiskan waktu yang tidak sebentar untuk menikmati suasana kampung halaman dan melihat serta menghabiskan waktu dengan orang-orang terkasih adalah hal yang sangat membahagiakan. Di rumah, saya bisa merasa segalanya menjadi berbeda. Ada banyak cerita, canda, tawa, dan memori-memori masa kecil yang seperti terputar di sana.

Saya bisa menimmati sisi rumah tempat saya bermain dulu, semasa kecil. Bisa bermain-main di pekarangan tempat saya tumbuh. Dan yang terpenting, saya bisa melihat orang tua yang seiring dengan berjalannya waktu, sekarang mereka terlihat mulai menua. Tapi kasih dan sayang mereka terhadap anak-anaknya seperti tidak berkurang sedikitpun.  Senang rasanya bisa menikmati masakan ibu yag tentu tidak bisa saya nikmati di perantauan. Bisa melihat bapak yang betapa tangguhnya dalam bekerja demi keluarga. Bisa melihat keknoyolan adik, yang ternyata sekarang sudah tumbuh besar. Ada banyak konsep ‘ternyata’ yang saya temui di rumah. Dan dari sini saya tahu, bahwa bahagia itu sederhana. Sangat-sangat sederhana.


*

Sepuluh hari adalah waktu yang terlalu singkat untuk bersama mereka. Dan sayangnya, waktu itu benar-benar terjadi di liburan kali ini. Seperti berat meninggalkan rumah.

Sore ini terasa melankolis. Dengan diiringi suara mesin bus-bus yang siap jalan serta suara para kondektur yang mempersilakan penumpang untuk cepat naik bus, saya melihat orang-orang di terminal saling mengucapkan salam dan doa bagi orang-orang yang mereka sayangi. Sekitar radius 2 meter tepat di depan saya, seorang perempuan dengan tas di tangan sedang bersalaman lalu berangkulan dengan dua orang yang lebih mirip bapak ibunya. Lalu, dua orang tua itu mengucapkan doa untuknya. Di sisi lain, satu pasang keluarga pun tak jauh beda. Mengucapkan salam perpisahan dengan keluarga mereka yang lain, lalu mereka saling mendoakan. Persis.

Lalu di samping saya sendiri. Adik yang sedari tadi menangis  karena sbentar lagi ditinggal oleh kakaknya pergi ke kota orang. Dan Bapak yang mulai berujar doa dan pengharapan akan sebuah kebahagiaan dan keberhasilan untuk anaknya.
Mungkin di tempat lain juga seperti ini, orang-orang berucap salam perpisahan lalu diiringi dengan doa. Oh, betapa banyaknya doa di sore ini. Sore yang diiringi dengan butiran air hujan yang jatuh pelan-pelan.
Saya tersentuh dengan pemandangan ini. Seperti ada rasa kehilangan di momen-momen yang tidak diinginkan.

*

Perpisahan. Orang-orang menyebut momen-momen ini seperti itu. Tapi, entah mengapa saya membenci kata yang satu ini. Ia selalu identik dengan kesedihan dan perasaan kehilangan. Bagi saya, perpisahan itu menyakitkan dan tidak layak ada. Kalaupun perpisahan itu harus ada, saya lebih suka menyebutnya sebagai perpindahan. Karena memang esensi makhluk hidup adalah seperti itu, berpindah. Bukan berpisah.

   

0 komentar:

Posting Komentar