Jepara, 05/01/13
Dalam sebuah perjalanan menuju
kota perantauan, Bandung...
Sore ini terasa begitu berbeda.
Saya harus rela untuk meninggalkan zona nyaman saya di rumah. Persoalan
akademik demi memperoleh perbaikan nilai salah satu mata kuliah memaksa saya
untuk meninggalkan masa liburan di rumah. Ini musim liburan semester ganjil
untuk mahasiswa ITB. Dan tampaknya liburan semester pendek tidak terlalu
menggembirakan bagi anak rantau. Alasannya jelas, kurang lama dan cepat habis.
Mungkin ada banyak cara bagi
semua manusia untuk menikmati masa liburannya. Ada yang senang menikmatinya
dengan berlibur di sebuah pendakian, menikmati sebuah perjalanan sebagai
seorang pelancong atau travelling,
atau bahkan ada juga yang mengisinya dengan kegiatan-kegiatan lain.
Bagi saya, seorang anak rantau,
liburan adalah timing yang pas untuk
dinikmati di di rumah. Menghabiskan waktu yang tidak sebentar untuk menikmati
suasana kampung halaman dan melihat serta menghabiskan waktu dengan orang-orang
terkasih adalah hal yang sangat membahagiakan. Di rumah, saya bisa merasa
segalanya menjadi berbeda. Ada banyak cerita, canda, tawa, dan memori-memori
masa kecil yang seperti terputar di sana.
Saya bisa menimmati sisi rumah
tempat saya bermain dulu, semasa kecil. Bisa bermain-main di pekarangan tempat
saya tumbuh. Dan yang terpenting, saya bisa melihat orang tua yang seiring
dengan berjalannya waktu, sekarang mereka terlihat mulai menua. Tapi kasih dan
sayang mereka terhadap anak-anaknya seperti tidak berkurang sedikitpun. Senang rasanya bisa menikmati masakan ibu yag
tentu tidak bisa saya nikmati di perantauan. Bisa melihat bapak yang betapa
tangguhnya dalam bekerja demi keluarga. Bisa melihat keknoyolan adik, yang
ternyata sekarang sudah tumbuh besar. Ada banyak konsep ‘ternyata’ yang saya
temui di rumah. Dan dari sini saya tahu, bahwa bahagia itu sederhana.
Sangat-sangat sederhana.
*
Sepuluh hari adalah waktu yang
terlalu singkat untuk bersama mereka. Dan sayangnya, waktu itu benar-benar
terjadi di liburan kali ini. Seperti berat meninggalkan rumah.
Sore ini terasa melankolis.
Dengan diiringi suara mesin bus-bus yang siap jalan serta suara para kondektur
yang mempersilakan penumpang untuk cepat naik bus, saya melihat orang-orang di
terminal saling mengucapkan salam dan doa bagi orang-orang yang mereka sayangi.
Sekitar radius 2 meter tepat di depan saya, seorang perempuan dengan tas di
tangan sedang bersalaman lalu berangkulan dengan dua orang yang lebih mirip
bapak ibunya. Lalu, dua orang tua itu mengucapkan doa untuknya. Di sisi lain,
satu pasang keluarga pun tak jauh beda. Mengucapkan salam perpisahan dengan
keluarga mereka yang lain, lalu mereka saling mendoakan. Persis.
Lalu di samping saya sendiri.
Adik yang sedari tadi menangis karena
sbentar lagi ditinggal oleh kakaknya pergi ke kota orang. Dan Bapak yang mulai
berujar doa dan pengharapan akan sebuah kebahagiaan dan keberhasilan untuk
anaknya.
Mungkin di tempat lain juga
seperti ini, orang-orang berucap salam perpisahan lalu diiringi dengan doa. Oh,
betapa banyaknya doa di sore ini. Sore yang diiringi dengan butiran air hujan
yang jatuh pelan-pelan.
Saya tersentuh dengan pemandangan
ini. Seperti ada rasa kehilangan di momen-momen yang tidak diinginkan.
*
Perpisahan. Orang-orang menyebut
momen-momen ini seperti itu. Tapi, entah mengapa saya membenci kata yang satu
ini. Ia selalu identik dengan kesedihan dan perasaan kehilangan. Bagi saya,
perpisahan itu menyakitkan dan tidak layak ada. Kalaupun perpisahan itu harus
ada, saya lebih suka menyebutnya sebagai perpindahan. Karena memang esensi
makhluk hidup adalah seperti itu, berpindah. Bukan berpisah.
0 komentar:
Posting Komentar