Sabtu, 20 Juli 2013

Daripada Ragu-Ragu Lebih Baik Pulang

Cerita ini sebenarnya telah  terjadi di beberapa hari yang lalu. Waktu itu, Sabtu (14/07) ketika tiba masa perayaan wisudaan ITB yang kedua di tahun ini. Dan saya sedang berada dalam sebuah perjalanan menuju kampus dari tempat kosan untuk meramaikan suasana dengan mengikuti perayaan tersebut. Hari masih pagi, di mana Bandung diselimuti cuaca berawan dengan disertai rintik-rintik air hujan yang turun perlahan. Mungkin ini nyanyian dari Tuhan untuk menambah eksotisnya hari wisudaan.
Dalam sebuah perjalanan mengendarai sepeda motor yang saya parkir di tempat parkir sipil ITB, saya melangkahkan kaki menuju sekretariat himpunan. Kedatangan saya sudah ditunggu teman-teman untuk bergabung bersama dalam sebuah kelompok arak-arakan. ITB adalah sebuah kampus dengan budaya yang begitu kental. Berhimpun, musyawarah, unit, serta arak-arakan adalah beberapa di antaranya. Sebagai anggota himpunan, tentu sudah menjadi keharusan untuk mengarak rekan satu himpunan yang di hari itu telah menjadi sarjana.
Arak-arakan ini dilakukan seusai prosesi penyerahan toga dan peresmian gelar sarjana yang disematkan oleh rektor. Sebagai bentuk rasa syukur dan ungkapan kegembiraan, massa himpunan mengarak para wisudawan wisudawati keliling kampus. Prosesi arak-arakan selalu ramai, karena tidak hanya sekadar mengarak, tapi masing-masing himpunan membawa tema tertentu, dengan disertai teriakan berupa yel-yel ataupun lagu himpunan Dan bahkan ada juga yang menampilkan serangkaian atraksi yang terlihat begitu menghibur dan membuat ramai suasana. Kampus Ganesha pun dibuat hidup pada hari itu, meski tak seramai perayaan wisuda-wisuda sebelumnya karena memang hari sedang hujan.
Dalam perjalanan menuju sekretariat himpunan, da satu pemandangan yang saya rasa berbeda ketika saya melintas di depan sebuah sekretariat himpunan lain. Ada satu tulisan dalam sebilah papan menggantung di teras sekre, bertuliskan “DARIPADA RAGU-RAGU LEBIH BAIK PULANG!”. Ditulis dengan gaya bahasa yang lugas dan terlihat tegas. Saya rasa tulisan itu dibuat dengan tidak main-main. Ada makna yang terselip dalam serangkaian huruf yang terlukis di sebuah papan. Mungkin tulisan itu dibuat untuk menyemangati panitia wisuda agar bekerja dengan sepenuh hati mereka, tidak lagi dengan setengah-setengah. Atau tulisan itu dibuat untuk menyemangati anggota himpunan yang sedang down dengan urusan perkuliahan agar kembali bersemangat. Atau mungkin juga ada alasan-alasan lain, yang intinya menurut saya sama, ‘bekerjalah dengan sepenuh hati tanpa keraguan’.
Ditujukan untuk siapapun, saya kira satu kalimat pendek itu telah berhasil mengambil pikiran saya untuk melakukan sebuah perenungan, meski saya masih berada dalam sebuah perjalanan menuju sekre. Ya, tak tahu kenapa tapi saya sering merenung ketika berada dalam sebuah perjalanan.
Hari itu, sebenarnya saya agak memaksakan diri untuk datang ke Bandung dan mengikuti perayaan wisudaan. Saya merasa sebagian dari jiwa saya masih tertinggal di rumah. Ya, rumah memang menjadi magnet luar biasa, seperti hati, yang susah untuk ditinggalkan. Saya belum sepenuhnya di sini. Padahal, kata orang bijak, kita dilarang untuk mengerjakan sesuatu dengan setengah-setengah karena nantinya hasil yang diperoleh juga tidak akan begitu baik. Jika orang bijak ini benar, tentu kehadiran saya di sini tidak akan membawa suatu manfaat yang utuh bagi semua pihak yang terlibat dalam acara ini. Kehadiran orang-orang seperti saya yang merelakan waktunya untuk turut mengarak ini tentu akan menimbulkan perasaan senang di hati para sarjana. Bukannya saya ge er, tapi bayangkan saja jika tidak ada 1 orang pun dari massa himpunan yang mengikuti arak-arakan, tentu ada perasaan sedih dan kecewa di hati para wisudawan wisudawati. Dan jika stimulus rasa bahagia yang berujung pada tindakan kebaikan ini akan berbalas pahala dari Tuhan, tentu pahala yang saya peroleh tidak akan bisa buat utuh, andai saya masih setengah-setengah. Dan bagi saya, tentu ini sangat disayangkan.
Dalam hal ini, saya merasa sangat penting bagi kita untuk memiliki sebuah keyakinan. Saya merasa yakin adalah sebuah modal awal untuk mencapai hasil yang maksimal. Dan keyakinan hanya akan muncul jika keraguan itu hilang. Karena ketika keraguan datang saat kamu memegang atau mengerjakans esuatu, sebenarnya itu sebuah gesekan untuk mencapai hasil yang istimewa. Saya hanya ingin menghilangkan keraguan yang datang ke diri saya di hari itu, meski itu tidak mudah karena ragu-ragu sifatnya manusiawi. Saya hanya ingin berkerja dan melakukan hal yang seharusnya saya lakukan dengan lepas, tanpa ‘sebuah tanpa’. Karena hanya kita yang tahu tentang seratus persen diri kita sendiri, oleh karenanya penting bagi kita untuk percaya diri.
Tiga menit sudah saya berjalan dari tempat parkiran, dan sekarang saya sudah berada di himpunan. Hanya ada sedikit teman himpunan di sana, saya berpikir teman-teman yang lain sudah menunggu di Sabuga (tempar prosesi peresmian gelar sarjana di ITB). Saya bersama salah seorang teman bergegas menuju Sabuga.
Ternyata keadaan di Sabuga egitu ramai saat itu. Prosesi peresmian gelar sarjana masih berlangsung di dalam gedung. Dan banyak anggota himpunan di luar gedung untuk menunggu wisudawan wisudawati mereka keluar dari gedung. Saya mencari-cari teman himpunan yang lain. Tapi hanya lama saya mencari, hanya sedikit yang saya temui. Dan memang sialnya, tidak banyak massa himpunan saya yang ingin mengikuti acara arak-arakan hari itu. Saya lumayan kecewa awalnya. Saya tidak mengerti kenapa hal ini terjadi. Mungkin ada beberapa mahasiswa perantau yang memang malas untuk datang ke kampus. Mungkin juga banyak mahasiswa lain yang sedang mengikuti acara lain yang lebih penting. Atau mungkin juga ada teman-teman saya yang ragu-ragu seperti saya, dan dia memilih untuk tetap tinggal di tempat lain, bukan datang kesini. Mungkin. Mungkin. Mungkin. Ada beberapa kemungkinan dari keadaan yang seharusnya terjadi tetapi tidak terjadi. Atau sebaliknya.
Kemungkinan  yang terkahir saya tulis, lalu menjadi titik perhatian saya. Keraguan itu manusiawi dan kadang kita harus memaksa untuk melawannya. Meski tak mudah, kita tetap harus melakukannya jika kita tidak ingin tetap bertahan dalam sebuah titik yang tetap. Kita perlu berpindah, karena ada kejadian lain yang menarik di titik yang lain. Suatu keraguan perlu kita paksa untuk menjadi sebuah keyakinan. Sesuatu yang setengah-setengah perlu kita paksa agar menjadi utuh.


0 komentar:

Posting Komentar