Cerita ini sebenarnya
telah terjadi di beberapa hari yang
lalu. Waktu itu, Sabtu (14/07) ketika tiba masa perayaan wisudaan ITB yang
kedua di tahun ini. Dan saya sedang berada dalam sebuah perjalanan menuju
kampus dari tempat kosan untuk meramaikan suasana dengan mengikuti perayaan
tersebut. Hari masih pagi, di mana Bandung diselimuti cuaca berawan dengan
disertai rintik-rintik air hujan yang turun perlahan. Mungkin ini nyanyian dari
Tuhan untuk menambah eksotisnya hari wisudaan.
Dalam sebuah perjalanan
mengendarai sepeda motor yang saya parkir di tempat parkir sipil ITB, saya
melangkahkan kaki menuju sekretariat himpunan. Kedatangan saya sudah ditunggu
teman-teman untuk bergabung bersama dalam sebuah kelompok arak-arakan. ITB
adalah sebuah kampus dengan budaya yang begitu kental. Berhimpun, musyawarah,
unit, serta arak-arakan adalah beberapa di antaranya. Sebagai anggota himpunan,
tentu sudah menjadi keharusan untuk mengarak rekan satu himpunan yang di hari
itu telah menjadi sarjana.
Arak-arakan ini dilakukan seusai prosesi penyerahan toga dan peresmian gelar sarjana yang disematkan oleh rektor. Sebagai bentuk rasa syukur dan ungkapan kegembiraan, massa himpunan mengarak para wisudawan wisudawati keliling kampus. Prosesi arak-arakan selalu ramai, karena tidak hanya sekadar mengarak, tapi masing-masing himpunan membawa tema tertentu, dengan disertai teriakan berupa yel-yel ataupun lagu himpunan Dan bahkan ada juga yang menampilkan serangkaian atraksi yang terlihat begitu menghibur dan membuat ramai suasana. Kampus Ganesha pun dibuat hidup pada hari itu, meski tak seramai perayaan wisuda-wisuda sebelumnya karena memang hari sedang hujan.
Arak-arakan ini dilakukan seusai prosesi penyerahan toga dan peresmian gelar sarjana yang disematkan oleh rektor. Sebagai bentuk rasa syukur dan ungkapan kegembiraan, massa himpunan mengarak para wisudawan wisudawati keliling kampus. Prosesi arak-arakan selalu ramai, karena tidak hanya sekadar mengarak, tapi masing-masing himpunan membawa tema tertentu, dengan disertai teriakan berupa yel-yel ataupun lagu himpunan Dan bahkan ada juga yang menampilkan serangkaian atraksi yang terlihat begitu menghibur dan membuat ramai suasana. Kampus Ganesha pun dibuat hidup pada hari itu, meski tak seramai perayaan wisuda-wisuda sebelumnya karena memang hari sedang hujan.
Dalam perjalanan menuju
sekretariat himpunan, da satu pemandangan yang saya rasa berbeda ketika saya
melintas di depan sebuah sekretariat himpunan lain. Ada satu tulisan dalam
sebilah papan menggantung di teras sekre, bertuliskan “DARIPADA RAGU-RAGU LEBIH
BAIK PULANG!”. Ditulis dengan gaya bahasa yang lugas dan terlihat tegas. Saya
rasa tulisan itu dibuat dengan tidak main-main. Ada makna yang terselip dalam
serangkaian huruf yang terlukis di sebuah papan. Mungkin tulisan itu dibuat
untuk menyemangati panitia wisuda agar bekerja dengan sepenuh hati mereka,
tidak lagi dengan setengah-setengah. Atau tulisan itu dibuat untuk menyemangati
anggota himpunan yang sedang down
dengan urusan perkuliahan agar kembali bersemangat. Atau mungkin juga ada
alasan-alasan lain, yang intinya menurut saya sama, ‘bekerjalah dengan sepenuh
hati tanpa keraguan’.
Ditujukan untuk
siapapun, saya kira satu kalimat pendek itu telah berhasil mengambil pikiran
saya untuk melakukan sebuah perenungan, meski saya masih berada dalam sebuah
perjalanan menuju sekre. Ya, tak tahu kenapa tapi saya sering merenung ketika
berada dalam sebuah perjalanan.
Hari itu, sebenarnya
saya agak memaksakan diri untuk datang ke Bandung dan mengikuti perayaan
wisudaan. Saya merasa sebagian dari jiwa saya masih tertinggal di rumah. Ya,
rumah memang menjadi magnet luar biasa, seperti hati, yang susah untuk
ditinggalkan. Saya belum sepenuhnya di sini. Padahal, kata orang bijak, kita
dilarang untuk mengerjakan sesuatu dengan setengah-setengah karena nantinya
hasil yang diperoleh juga tidak akan begitu baik. Jika orang bijak ini benar,
tentu kehadiran saya di sini tidak akan membawa suatu manfaat yang utuh bagi
semua pihak yang terlibat dalam acara ini. Kehadiran orang-orang seperti saya
yang merelakan waktunya untuk turut mengarak ini tentu akan menimbulkan
perasaan senang di hati para sarjana. Bukannya saya ge er, tapi bayangkan saja jika
tidak ada 1 orang pun dari massa himpunan yang mengikuti arak-arakan, tentu ada
perasaan sedih dan kecewa di hati para wisudawan wisudawati. Dan jika stimulus
rasa bahagia yang berujung pada tindakan kebaikan ini akan berbalas pahala dari
Tuhan, tentu pahala yang saya peroleh tidak akan bisa buat utuh, andai saya
masih setengah-setengah. Dan bagi saya, tentu ini sangat disayangkan.
Dalam hal ini, saya
merasa sangat penting bagi kita untuk memiliki sebuah keyakinan. Saya merasa
yakin adalah sebuah modal awal untuk mencapai hasil yang maksimal. Dan
keyakinan hanya akan muncul jika keraguan itu hilang. Karena ketika keraguan
datang saat kamu memegang atau mengerjakans esuatu, sebenarnya itu sebuah
gesekan untuk mencapai hasil yang istimewa. Saya hanya ingin menghilangkan
keraguan yang datang ke diri saya di hari itu, meski itu tidak mudah karena
ragu-ragu sifatnya manusiawi. Saya hanya ingin berkerja dan melakukan hal yang
seharusnya saya lakukan dengan lepas, tanpa ‘sebuah tanpa’. Karena hanya kita
yang tahu tentang seratus persen diri kita sendiri, oleh karenanya penting bagi
kita untuk percaya diri.
Tiga menit sudah saya
berjalan dari tempat parkiran, dan sekarang saya sudah berada di himpunan.
Hanya ada sedikit teman himpunan di sana, saya berpikir teman-teman yang lain
sudah menunggu di Sabuga (tempar prosesi peresmian gelar sarjana di ITB). Saya
bersama salah seorang teman bergegas menuju Sabuga.
Ternyata keadaan di
Sabuga egitu ramai saat itu. Prosesi peresmian gelar sarjana masih berlangsung
di dalam gedung. Dan banyak anggota himpunan di luar gedung untuk menunggu
wisudawan wisudawati mereka keluar dari gedung. Saya mencari-cari teman himpunan
yang lain. Tapi hanya lama saya mencari, hanya sedikit yang saya temui. Dan
memang sialnya, tidak banyak massa himpunan saya yang ingin mengikuti acara
arak-arakan hari itu. Saya lumayan kecewa awalnya. Saya tidak mengerti kenapa
hal ini terjadi. Mungkin ada beberapa mahasiswa perantau yang memang malas
untuk datang ke kampus. Mungkin juga banyak mahasiswa lain yang sedang
mengikuti acara lain yang lebih penting. Atau mungkin juga ada teman-teman saya
yang ragu-ragu seperti saya, dan dia memilih untuk tetap tinggal di tempat
lain, bukan datang kesini. Mungkin. Mungkin. Mungkin. Ada beberapa kemungkinan
dari keadaan yang seharusnya terjadi tetapi tidak terjadi. Atau sebaliknya.
Kemungkinan yang terkahir saya tulis, lalu menjadi titik
perhatian saya. Keraguan itu manusiawi dan kadang kita harus memaksa untuk
melawannya. Meski tak mudah, kita tetap harus melakukannya jika kita tidak
ingin tetap bertahan dalam sebuah titik yang tetap. Kita perlu berpindah,
karena ada kejadian lain yang menarik di titik yang lain. Suatu keraguan perlu
kita paksa untuk menjadi sebuah keyakinan. Sesuatu yang setengah-setengah perlu kita paksa agar menjadi utuh.
0 komentar:
Posting Komentar