Dan hal penting yang membedakan antara anak-anak dan
orang dewasa adalah tingkat kerumitan dari sisi memandang hidup. Secara
naluriah, orang dewasa selalu melihat dunia ini dengan cara yang rumit, di mana untuk
mencapai hasil yang sederhana, mereka memerlukan banyak
asumsi untuk menyederhanakannya. Ini berbeda dengan anak-anak. Dunia mereka
benar-benar sederhana secara naluriah. Tanpa asumsi, tanpa penyederhanaan lagi.
Tertawa, berlari kesana-kemari, bermain, berteriak, juga menjerit menangis
hanya untuk meminta mainan ke orang tua.
***
Selamat sore. Ketika kamu membaca tulisan ini tidak pada sore hari, jangan dulu bilang saya salah menyebut waktu. Karena memang tulisan ini saya tulis di waktu sore J. Saya sedang berusaha untuk tidak membunuh waktu luang dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Jadi, itu alasan kenapa sore ini, sambil ngabuburit saya menulis tulisan ini.
Linimasa pada
tanggal 23 Juli kemarin penuh dengan testimoni Hari Anak. Karena, memang hari
itu ditasbihkan sebagai Hari Anak Nasional. Banyak ucapan selamat hari anak mengalir dari mulut orang
dewasa,
dimana saja. Di acara-acara TV, di radio, di media-media cetak, ataupun secara
langsung. Bahkan, internet search engine sebesar google pun turut
memperingatinya dengan memajang desain dekoratif logo unik (Google Doodle)
bertemakan anak-anak sekolah—2 anak SD, satu
bersegaram pramuka dan yang lainnya berseragam merah putih—di laman
situsnya.
Berdasarkan
referensi, ternyata ada banyak
hari yang ditandai sebagai peringatan hari anak. Hari Anak
Internasional diperingati setiap tanggal 1 Juni, Hari Anak Universal jatuh pada
tanggal 20 November, dan Indonesia sendiri menetapkan tanggal 23 Juni sebagai
Hari Anak Nasional (info: red). Bicara
soal anak-anak, saya merasa masa menjadi seorang anak sudahlah lewat. Ya, di
usia yang sudah mencapai hampir 21 tahun ini, tentunya saya sudah tidak pantas
lagi untuk dipanggil sebagai bocah. Saya sangat menyayangkan hal ini. Karena saya
berpikir, masa kanak-kanak adalah masa yang menyenangkan. Ada banyak lukisan
dan tulisan cerita tentang masa lalu saya sebagai seorang bocah. Mungkin, kalau
di adegan film-film, rekam jejak cerita masa lalu itu akan datang silih
berganti dalam sebuah tayangan samar-samar, dengan saya yang berada dalam
keadaan melamun dengan mata kanan
agak sedikit mendilik ke atas.
Di masa kecil, dulunya
saya sangat takut melihat kapuk pohon randu. Saya juga sangat menyukai bakso. Dari
kecil saya sudah akrab dengan ayam—sampai-sampai pernah mendapat serangan
mendadak dari ayam yang baru menetaskan anak-anaknya. Ini karena Bapak dulunya
pernah ternak ayam. Juga di usia 5 tahun, saya yang sedang tergila-gilanya
dengan sepeda waktu itu sering menghabiskan waktu dengan menaiki sepeda
keliling kampung, sendiri atau juga bersama teman sepermainan. Saya masih ingat
saat-saat awal belajar naik sepeda, waktu itu saya pernah nabrak orang di jalan
dan juga nyebur di parit-parit karena naik sepeda terlalu kencang. Semua masih
segar di ingatan, berkelabatan secara random.
gambar diambil dari sini
Dunia anak adalah
dunia yang sangat sederhana. Betapa menyenangkannya saya dulu pernah ada di
masa itu. Saya yang hanya mengenal hidup ini dalam kesederhanaan, berada
dalam keterbatasan ketidaktahuan—tetapi selalu ingin tahu. Sekarang masa itu
sudah lewat. Masa kekanakan sudah berevolusi menjadi masa dewasa, meski tak
sesederhana itu prosesnya.
Dan hal penting
yang membedakan antara anak-anak dan orang dewasa adalah tingkat kerumitan dari
sisi memandang hidup saja. Hanya sebuah pendapat saya saja, tentunya kamu bebas
untuk setuju ataupun tidak. Secara naluriah, orang dewasa selalu melihat dunia
ini dengan cara yang rumit. Banyak kalkulasi numerik, pertimbangan, serta lebih
banyak menggunakan akal untuk berpikir, dan membenci spontanitas. Mereka
memerlukan banyak asumsi untuk menyederhanakan tingkat kerumitan hidup. Ini
berbeda dengan anak-anak. Dunia mereka benar-benar sederhana secara naluriah.
Tanpa asumsi, tanpa penyederhanaan lagi. Tertawa, berlari kesana-kemari,
bermain, berteriak, juga menjerit menangis hanya untuk meminta mainan ke orang
tua. Dalam benak saya, kapuk dulu terlihat seperti hantu, karena saya berpikir
hantu adalah suatu makhluk yang berwarna putih dan bisa terbang melayang-layang
dengan bebas. Persis seperti kapuk. Sesederhana itu. Lalu, ayam yang baru saja
menetaskan inangnya adalah makhluk jahat yang benar-benar harus dihindari.
Kelembutan ayam seperti yang biasa saya kasih makan setiap pagi akan menghilang
di kala dia baru saja melestarikan
keturunannya. Dan masih banyak lagi hal-hal sederhana—mungkin pas juga kalau
disebut hal bodoh—yang lain dalam otak saya.
Jadi, bagaimana dengan masa kecilmu, kawan? Pasti menarik dan banyak
cerita yang telah kamu lewati kan?
0 komentar:
Posting Komentar