Selasa, 30 Juli 2013

Dunia Anak, Dunia yang Sederhana


Dan hal penting yang membedakan antara anak-anak dan orang dewasa adalah tingkat kerumitan dari sisi memandang hidup. Secara naluriah, orang dewasa selalu melihat dunia ini dengan cara yang rumit, di mana untuk mencapai hasil yang sederhana, mereka memerlukan banyak asumsi untuk menyederhanakannya. Ini berbeda dengan anak-anak. Dunia mereka benar-benar sederhana secara naluriah. Tanpa asumsi, tanpa penyederhanaan lagi. Tertawa, berlari kesana-kemari, bermain, berteriak, juga menjerit menangis hanya untuk meminta mainan ke orang tua.
***

Sabtu, 20 Juli 2013

Saatnya Keluar dari Zona Nyaman

Malam telah berakhir untuk hari kemarin. Pagi akan segera datang dengan satu sambutan hangat dari mentari di ufuk timur. Sedikit embun pagi terasa membasahi kaca jendela kamar. Ia, embun itu adalah suatu tanda siraman kecil untuk jiwa-jiwa yang kerdil yang tak menyukai pagi datang. Melewatkan momen berharga menyaksikan hadirnya tetesan embun pagi adalah hal yang bodoh bagi mereka yang mau maju. Sejenak setelah berada pada kenyamanan di kala malam kemarin menjadi alasan kuat untuk bermalas-malasan memulai sesuatu yang baru di hari ini. Kita sudah berada di zona nyaman.

Hawa malas bisa jadi menjadi pemicu utama, dan melihat matahari pagi setelah terlelap dalam tidur malam kemarin menjadi sesuatu yang terlihat begitu menyebalkan. Kita boleh saja mempunyai mimpi selangit, tak ada satu pun yang melarang. Tapi ketahuilah mimpi saja tak cukup. “Mimpi saja, mimpi! Mimpi terus sampai mampus!” begitu mungkin gertakan orang-orang yang kolot kepada orang yang hanya bisa bermimpi tapi realisasinya nol. Kalau boleh saya katakan, mimpi yang tanpa disertai action sama saja dengan khayalan. 11-12, bisa saya katakan demikian.

Daripada Ragu-Ragu Lebih Baik Pulang

Cerita ini sebenarnya telah  terjadi di beberapa hari yang lalu. Waktu itu, Sabtu (14/07) ketika tiba masa perayaan wisudaan ITB yang kedua di tahun ini. Dan saya sedang berada dalam sebuah perjalanan menuju kampus dari tempat kosan untuk meramaikan suasana dengan mengikuti perayaan tersebut. Hari masih pagi, di mana Bandung diselimuti cuaca berawan dengan disertai rintik-rintik air hujan yang turun perlahan. Mungkin ini nyanyian dari Tuhan untuk menambah eksotisnya hari wisudaan.
Dalam sebuah perjalanan mengendarai sepeda motor yang saya parkir di tempat parkir sipil ITB, saya melangkahkan kaki menuju sekretariat himpunan. Kedatangan saya sudah ditunggu teman-teman untuk bergabung bersama dalam sebuah kelompok arak-arakan. ITB adalah sebuah kampus dengan budaya yang begitu kental. Berhimpun, musyawarah, unit, serta arak-arakan adalah beberapa di antaranya. Sebagai anggota himpunan, tentu sudah menjadi keharusan untuk mengarak rekan satu himpunan yang di hari itu telah menjadi sarjana.

Selasa, 16 Juli 2013

Makna Ganda dari Sebuah Tanda Titik

Sebagai seorang manusia, kita membutuhkan komunikasi untuk dapat berinteraksi dengan sesama. Dalam hal ini, bahasa memegang peranan penting. Hidup ini tidak sederhana. Mungkin kamu sudah tahu mengenail hal ini. Karena ketidaksederhanaan ini, sering terdapat beberapa kata—yang merupakan bagian dari bahasa yang mempunyai ejaan sama namun memberikan makna yang berbeda. Kalau saya tidak salah ingat, kata guru Bahasa Indonesia semasa SMP dulu namanya homograf.
Titik. Mungkin sebagian besar dari kita mengartikan kata ini untuk menyebutkan sebuah tanda baca “.”. Tanda ini biasanya kita gunakan untuk menandai akhir dari sebuah kalimat atau pernyataan. Ya, dalam hal ini ‘titik’ berarti ‘akhir’. Akhir berarti suatu keadaan dimana sudah tidak akan lagi kelanjutannya. Namun, sebuah kalimat yang diakhiri dengan tanda titik tidak berarti ‘tidak ada lagi kalimat setelah ini’. Betul?

Sabtu, 13 Juli 2013

Satu Cerita dari Rumah

Jumat (12/07/13). Hari ini adalah hari ketiga di bulan Ramadhan tahun ini. Dan, tidak seperti hari-hari awal di dua Ramadhan sebelumnya yang selalu saya habiskan di Bandung, awal ramadhan tahun ini saya habiskan di rumah. Liburan panjang di tahun ini tepat datang sebelum Ramadhan dan bahkan waktunya menerus sampai ke libur Lebaran. Waktu libur selama 3 bulan seharusnya menjadi hari yang begitu lama. Tetapi, libur 1 bulan pertama harus saya habiskan di Bali. Bukan untuk suatu liburan menikmati keindahan pulau itu, bukan. Tetapi sebuah kuliah lapangan di Gondol—daerah pinggiran Bali selama hampir 3 minggu memaksa saya untuk melupakan libur 1 bulan pertama. Kulit saya menjadi eksotis karena seringnya panas-panasan saat ekskursi. Okay, fine!
Berlanjut ke hari libur di bulan berikutnya. Libur bulan kedua saya habiskan di Bandung dan di rumah. Di Bandung sibuk untuk mengurus proposal majalah himpunan yang begitu ribet karena harus menunggu kerja dari tim-tim redaksi. Dan akhirnya, setelah proposal kasar jadi, dan sudah melalui pertemuan dengan kaprodi, proposal bisa teratasi. Di sisa liburan di bulan kedua, akhirnya saya bisa pulang.
Rumah... Ah akhirnya sampai juga saya di lirik terakhir lagu ‘Home’-nya Michael Buble.
I’m coming back home...