Sabtu, 13 Juli 2013

Satu Cerita dari Rumah

Jumat (12/07/13). Hari ini adalah hari ketiga di bulan Ramadhan tahun ini. Dan, tidak seperti hari-hari awal di dua Ramadhan sebelumnya yang selalu saya habiskan di Bandung, awal ramadhan tahun ini saya habiskan di rumah. Liburan panjang di tahun ini tepat datang sebelum Ramadhan dan bahkan waktunya menerus sampai ke libur Lebaran. Waktu libur selama 3 bulan seharusnya menjadi hari yang begitu lama. Tetapi, libur 1 bulan pertama harus saya habiskan di Bali. Bukan untuk suatu liburan menikmati keindahan pulau itu, bukan. Tetapi sebuah kuliah lapangan di Gondol—daerah pinggiran Bali selama hampir 3 minggu memaksa saya untuk melupakan libur 1 bulan pertama. Kulit saya menjadi eksotis karena seringnya panas-panasan saat ekskursi. Okay, fine!
Berlanjut ke hari libur di bulan berikutnya. Libur bulan kedua saya habiskan di Bandung dan di rumah. Di Bandung sibuk untuk mengurus proposal majalah himpunan yang begitu ribet karena harus menunggu kerja dari tim-tim redaksi. Dan akhirnya, setelah proposal kasar jadi, dan sudah melalui pertemuan dengan kaprodi, proposal bisa teratasi. Di sisa liburan di bulan kedua, akhirnya saya bisa pulang.
Rumah... Ah akhirnya sampai juga saya di lirik terakhir lagu ‘Home’-nya Michael Buble.
I’m coming back home...
Rumah selalu identik dengan muara. Meski mungkin sederhana, di sinilah tersimpan banyak kenangan tentang diri seseorang. Mulai dari saat bayi yang  baru bisa menangis, bocah yang baru bisa merangkak dan belajar berbicara, sampai saat kita dapat berlari-lari kesana kemari. Seperti itu juga rumah saya. Ada di desa, di mana untuk menemukan pasar harus dengan kendaraan bermotor selama 15 menit, rumah dengan susahnya menangkap sinyal indosat dan juga televisi. Beberapa kali saya sempat merasa frustasi saat harus menerima atau ingin telfon ke teman-teman yang ada di Bandung. Begitu juga saat saya ingin menonton Liga Inggris, dengan antena biasa gambar di televisi begitu jelek dan semutan, semengara dengan antena parabola tayangan Liga Inggris selalu dikunci. Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi saya, sebagai penggila bola.
Tapi sekali lagi ada kesan tersendiri saat saya melihat dan bahkan menyentuh lantai rumah ini untuk yang pertama kalinya siang itu.
Untuk mencapai rumah di hari itu tidaklah secepat biasanya. Sebuah perjalanan yang lebih panjang harus saya lewati. Ini karena adanya beberapa kendala perjalanan yang benar-benar membuat saya kesal. Pertama, sopir bus salah jalan. Oke, mungkin kedengarannya ini lucu. Tapi, seperti kata Titiek Puspa dalam lagu ‘Kupu-Kupu Malam’-nya,
Apa yang terjadi, terjadilah.
Padahal, ini rute yang biasa bus malam lewati saat menempuh Bandung – Jepara, lha kok bisa-bisanya salah jalan. Wahai lelucon semesta... Kedua, jalanan macet. Oke, ini masalah klasik yang biasa saya temui di perjalanan pulang. Mungkin ini masalah di jalan-jalan lain juga di Indonesia, dan wajar saja jika pada suatu hari yang lalu, wakil walikota Bandung mengatakan bahwa kemacetan adalah ikon kota Bandung. Saya kira tidak pantas untuk seorang walikota yang mempunyai pemikiran seperti ini.
Akumulasi dari kejadian-kejadian lain di jalan, seperti mogoknya bus, ramainya lalu lintas, dan lain-lain membuat saya baru sampai rumah jam 1 siang. Ini rekor baru, padahal biasanya saya sampai rumah setelat-telatnya jam 7 pagi. Kalau saya artis tenar, mungkin berita ini sudah menjadi trending topic, dengan sorotan tajam tentu ada pada bus yang masih saja mogok, sopir salah jalan, dan ramainya lalu lintas. Tapi, untungnya ini tidak terjadi, karena kenyataannya saya memang bukan seorang artis.
Kembali ke rumah. Siang ini begitu terik. Matahari memancarkan cahayanya dengan intensitas yang cukup kuat, ini berbeda dengan keadaan di Bandung, yang bahkan beberapa jam sebelum saya pulang kampung turun hujan yang lumayan deras. Jemuran pakaian sukses basah kuyup karena saya tinggal makan siang di warung.
Setelah cukup melepas rindu dengan orang-orang rumah, saya melupakan waktu istirahat. Rasanya terlalu sayang untuk tidak segera ingin tahu keadaan saudara sepupu yang masih kecil. Umurnya belum genap 3 tahun, tapi sungguh dia lucu sekali. Saya dengar dari ibu kalau sekarang dia sudah mulai bisa banyak bicara. Tentu intonasinya masih belum begitu jelas, tapi justru ini yang membuatnya lucu. Badannya agak gendutan dan dia pemalu. Saya ingat betul, waktu liburan semster sebelumnya, waktu itu kita pernah main kuda-kudaan. Tentu, saya yang menjadi kudanya, dia yang menaiki punggung saya. Setelah kita ketemu, langsung saya menghampirinya dan ingin menggendongnya, tapi seperti biasa dia menolak saya. Sifatnya dari kecil sama, takut dengan orang baru yang belum dia kenal atau orang sudah dia kenal tapi lama tidak ketemu. Sepertinya perlu waktu sementara untuk saya bisa mengajaknya bermain. Hampir saja saya lupa, kalau dia sudah punya adik kecil. Adik kecil ini lahir ketika saya masih di Bandung. Waktu itu saya tidak sempat pulang. Jadi, ini kali pertama saya melihatnya. Perempuan dan lucu. Ada rasa bahagia tersendiri begitu melihat mata seorang bayi. Innocent dan sejenak memberikan kesan menenteramkan.
Selain kedua bocah itu, ada juga beberapa anak kecil yang lain—anak tetangga. Ada yang masih berumur 2 tahun, 3 tahun, dan ada juga juga yang masih dalam hitungan bulan. Meski anak tetangga, tetapi selalu mudah bagi meraka untuk berinteraksi satu sama lain. Para ibu sering berkumpul untuk acara tertentu, atau bahkan hanya untuk sekadar ngobrol, tentu saja sambil membawa serta anak mereka. Dan ini lucu sekali ketika beberapa bocah dipersatukan dan bermain bersama. Anak 2 – 3 tahunan berbicara dalam bahasa mereka sendiri yang tentu lucu sekali mendengar mereka saling ngobrol. Kondisi ketika mereka bermain bersama membuat lingkungan rumah sudah seperti taman bermain anak-anak.
Saya suka anak kecil, dia lugu dan menggemaskan. Selalu ada perasaan senang ketika bermain bersama mereka, sesaat kita bisa melupakan masalah dunia orang dewasa. Dunia anak-anak adalah dunia yang sederhana, di mana mereka hanya tahu tentang permainan. Sesederhana itu. Melihat dan berinteraksi dengan mereka adalah hiburan, yang benar-benar natural menurut saya.
Tapi sayangnya, saya harus menyudahi waktu untuk bermain bersama mereka hari ini. Berita buruknya, saya harus segera kembali ke Bandung sore ini. Ada kegiatan yang wajib saya ikuti.
So, bye bye adik kecil. Terima kasih untuk hiburannya J.


0 komentar:

Posting Komentar