20 Agustus 2012
2 Syawal 1433 H
Lebaran.
Waktu untuk berkunjung ke rumah saudara-saudara. Dan karena orang tua saya
berasal dari keluarga besar maka saudara-saudara saya juga banyak. Keluarga
besar yang saya maksud di sini bukanlah dari segi materi, tentu akan sangat memprihatinkan jika kita hanya bisa mengira ukuran besar/kecilnya
sebuah keluarga melalui hitungan materi. Besar di sini adalah sebuah ukuran
yang tergambarkan secara kuantitas anggota keluarga.
Tetapi
untungnya, jumlah yang banyak itu tidak terpencar-pencar berjauhan. Mereka
berdomisili cukup berdekatan dan cenderung mengumpul di satu wilayah. Dan itu menjadi pemandangan
yang cukup baik bila kita ingin berkunjung satu demi satu ke rumah-rumah
mereka. Tetapi, bagi saya kurang seru sih karena sebenarnya saya lebih
menikmati bila mereka berdomisili secara berpencar. Karena dengan begitu kan untuk
mengunjungi mereka, saya bisa sekalian jalan-jalan dan pastinya beda tempat
beda kultur dan so pasti cerita hidup
menjadi lebih beragam. Haha...
Satu
kunjungan di hari kedua lebaran. Rumah yang dituju tidak terlalu jauh dari
kediaman. Hanya sekitar 15-20 menit dengan kelajuan 60 km/jam untuk
mencapainya. Dia adalah kakek jauh saya. Adiknya orang tua ayah. Namanya Mbah
Kawi.
Mbah
Kawi merupakan salah satu cerita yang berbeda di lebaran kali ini. Kata Ayah, umurnya
sudah sekitar 75-80 tahun. Entahlah. Tidak ada yang tahu secara pasti tanggal
kelahirannya. Hal yang mengejutkan darinya adalah bahwa perawakan fisik bisa membodohkan
manusia, bila ukurannya hanya sebatas usia. Betapa tidak, badannya masih kekar
berotot dan tampak sehat serta tetap memiliki aura pejantan yang tangguh,
sebuah aura yang menjadi khas keluarga kakek.
Saya
sering mendengar dari Ayah tentang cerita Mbah Kawi. Singkatnya dia adalah
seorang dukun. Iya, dukun. Saya bahkan nggak malu untuk berbagi cerita bahwa
saya adalah cucu seorang dukun. Dan keabsurdan pun terjadi saat saya mengetahui
bahwa kakek saya dari keluarga Ibu adalah seseorang yang dikenal sebagai pemuka
agama di kampungnya.
Kembali
ke Mbah Kawi. Hal-hal gaib cukup banyak dia ketahui. Salah satu hal abstrak
tersebut adalah saat dia bercerita bahwa suatu hari kakek saya pernah
berkunjung ke rumahnya lalu mengajaknya berbicara. Cerita itu saya dapatkan
ketika saya berkunjung di hari lebaran ini. Dia menceritakannya dengan sangat
meyakinkan dan membuat siapa saja yang mendengarkan ceritanya akan berpikir dia
benar (kecuali mungkin sebelum pendengar tahu bahwa dia adalah seorang dukun). Karena
satu kata saja bisa menghamburkan persepsi awal yang baik.
Cerita
selanjutnya dari dia adalah bahwa kakek asli saya adalah seorang jagoan semasa
hidupnya. Oke, mungkin ini bukan yang pertama kali saya mendengar seseorang
bercerita seperti itu tentang kakek saya. Tetapi entah mengapa ini rasanya
seperti sebuah cerita yang benar-benar baru.
‘Kakekmu
dulu seorang jagoan. Badannya tinggi dan kekar’, kata dia dengan sambil
menatapku tajam.
‘Orang
sekampung tahu, siapa itu Wignyo. Tak terhitung berapa banyak manusia yang
ngakunya preman dihajar sama mbahmu.’
Saya
mengangguk-ngangguk, awalnya tidak terlalu terkejut mendengar cerita tentang kakek.
‘Tapi
yang aneh ya. Dia memang jagoan, kuat fisiknya. Tapi bodoh akalnya. Aku juga
heran’
Kata
dia masih dengan semangatnya.
‘Dia
hormat kalau denganku. Tahu kenapa?’
Aku
menggeleng.
‘Ini...’
dia mencubit keras kulit tangannya. ‘Tanganku ini keras, diapa-apain nggak
pernah terasa sakit. Dikiranya (oleh kakek) aku ini jagoan, sama seperti dia.
Padahal... ini memang gawan. Haha...’
###
Merupakan
sebuah cerita yang berbeda dan membangkitkan persepsi yang baru di otak saya.
Saya yang dulunya menggambarkan kakek sebagai seorang jagoan bertubuh kekar dan
berjiwa keras tetapi sebenarnya santun kini berani mengubah haluan berpikir.
Persepsi
baru saya sekarang, kakek adalah seorang lelaki sejati, yang dalam pewayangan
Jawa sangat pantas bila diperankan oleh Bima. Bima adalah seorang lelaki gagah
perkasa bertubuh hitam dan sama sekali tak mengenal santun, berada di urutan 2
sebagai anggota Pandawa. Ya,
apalagi yang bisa seseorang lakukan untuk mengetahui perawakan fisik orang yang
sudah tiada, apalagi tanpa sebuah foto, selain mencari cerita tentangnya serta
membayangkannya?
Begitulah
pelajaran berharga hari ini. Di mana satu wingsit berharga lainnya dari Mbah
Kawi adalah bahwa ada 3 patokan yang menjadi dasar dalam menjalani hidup ini,
yaitu: trima, jujur, dan temen. Di mana, dalam bahasa Indonesia bisa diartikan
sebagai: terima, jujur, dan tekun. Mungkin ketiga hal ini terdengar sederhana.
Tetapi kalau dipikir lebih jauh, ketiga hal tersebut cukup ampuh untuk menjadi
senjata andalan dalam mengarungi hidup ini. Dan saya merasa sejauh ini belum
melakukannya dengan benar, apalagi untuk satu patokan terakhir.
Terima
kasih atas ceritanya, Mbah.
0 komentar:
Posting Komentar