Senin, 03 September 2012

Ternyata Saya adalah ‘Cucu Bima’



20 Agustus 2012
2 Syawal 1433 H

Lebaran. Waktu untuk berkunjung ke rumah saudara-saudara. Dan karena orang tua saya berasal dari keluarga besar maka saudara-saudara saya juga banyak. Keluarga besar yang saya maksud di sini bukanlah dari segi materi, tentu akan sangat memprihatinkan jika kita hanya bisa mengira ukuran besar/kecilnya sebuah keluarga melalui hitungan materi. Besar di sini adalah sebuah ukuran yang tergambarkan secara kuantitas anggota keluarga. 

Tetapi untungnya, jumlah yang banyak itu tidak terpencar-pencar berjauhan. Mereka berdomisili cukup berdekatan dan cenderung mengumpul di  satu wilayah. Dan itu menjadi pemandangan yang cukup baik bila kita ingin berkunjung satu demi satu ke rumah-rumah mereka. Tetapi, bagi saya kurang seru sih karena sebenarnya saya lebih menikmati bila mereka berdomisili secara berpencar. Karena dengan begitu kan untuk mengunjungi mereka, saya bisa sekalian jalan-jalan dan pastinya beda tempat beda kultur dan so pasti cerita hidup menjadi lebih beragam. Haha...

Satu kunjungan di hari kedua lebaran. Rumah yang dituju tidak terlalu jauh dari kediaman. Hanya sekitar 15-20 menit dengan kelajuan 60 km/jam untuk mencapainya. Dia adalah kakek jauh saya. Adiknya orang tua ayah. Namanya Mbah Kawi. 

Mbah Kawi merupakan salah satu cerita yang berbeda di lebaran kali ini. Kata Ayah, umurnya sudah sekitar 75-80 tahun. Entahlah. Tidak ada yang tahu secara pasti tanggal kelahirannya. Hal yang mengejutkan darinya adalah  bahwa perawakan fisik bisa membodohkan manusia, bila ukurannya hanya sebatas usia. Betapa tidak, badannya masih kekar berotot dan tampak sehat serta tetap memiliki aura pejantan yang tangguh, sebuah aura yang menjadi khas keluarga kakek. 


Saya sering mendengar dari Ayah tentang cerita Mbah Kawi. Singkatnya dia adalah seorang dukun. Iya, dukun. Saya bahkan nggak malu untuk berbagi cerita bahwa saya adalah cucu seorang dukun. Dan keabsurdan pun terjadi saat saya mengetahui bahwa kakek saya dari keluarga Ibu adalah seseorang yang dikenal sebagai pemuka agama di kampungnya.  

Kembali ke Mbah Kawi. Hal-hal gaib cukup banyak dia ketahui. Salah satu hal abstrak tersebut adalah saat dia bercerita bahwa suatu hari kakek saya pernah berkunjung ke rumahnya lalu mengajaknya berbicara. Cerita itu saya dapatkan ketika saya berkunjung di hari lebaran ini. Dia menceritakannya dengan sangat meyakinkan dan membuat siapa saja yang mendengarkan ceritanya akan berpikir dia benar (kecuali mungkin sebelum pendengar tahu bahwa dia adalah seorang dukun). Karena satu kata saja bisa menghamburkan persepsi awal yang baik.

Cerita selanjutnya dari dia adalah bahwa kakek asli saya adalah seorang jagoan semasa hidupnya. Oke, mungkin ini bukan yang pertama kali saya mendengar seseorang bercerita seperti itu tentang kakek saya. Tetapi entah mengapa ini rasanya seperti sebuah cerita yang benar-benar baru.

‘Kakekmu dulu seorang jagoan. Badannya tinggi dan kekar’, kata dia dengan sambil menatapku  tajam.
‘Orang sekampung tahu, siapa itu Wignyo. Tak terhitung berapa banyak manusia yang ngakunya preman dihajar sama mbahmu.’
Saya mengangguk-ngangguk, awalnya tidak terlalu terkejut mendengar cerita tentang kakek.
‘Tapi yang aneh ya. Dia memang jagoan, kuat fisiknya. Tapi bodoh akalnya. Aku juga heran’
Kata dia masih dengan semangatnya.
‘Dia hormat kalau denganku. Tahu kenapa?’
Aku menggeleng.
‘Ini...’ dia mencubit keras kulit tangannya. ‘Tanganku ini keras, diapa-apain nggak pernah terasa sakit. Dikiranya (oleh kakek) aku ini jagoan, sama seperti dia. Padahal... ini memang gawan. Haha...’ 

###

Merupakan sebuah cerita yang berbeda dan membangkitkan persepsi yang baru di otak saya. Saya yang dulunya menggambarkan kakek sebagai seorang jagoan bertubuh kekar dan berjiwa keras tetapi sebenarnya santun kini berani mengubah haluan berpikir. 

Persepsi baru saya sekarang, kakek adalah seorang lelaki sejati, yang dalam pewayangan Jawa sangat pantas bila diperankan oleh Bima. Bima adalah seorang lelaki gagah perkasa bertubuh hitam dan sama sekali tak mengenal santun, berada di urutan 2 sebagai anggota Pandawa. Ya, apalagi yang bisa seseorang lakukan untuk mengetahui perawakan fisik orang yang sudah tiada, apalagi tanpa sebuah foto, selain mencari cerita tentangnya serta membayangkannya?  

Begitulah pelajaran berharga hari ini. Di mana satu wingsit berharga lainnya dari Mbah Kawi adalah bahwa ada 3 patokan yang menjadi dasar dalam menjalani hidup ini, yaitu: trima, jujur, dan temen. Di mana, dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai: terima, jujur, dan tekun. Mungkin ketiga hal ini terdengar sederhana. Tetapi kalau dipikir lebih jauh, ketiga hal tersebut cukup ampuh untuk menjadi senjata andalan dalam mengarungi hidup ini. Dan saya merasa sejauh ini belum melakukannya dengan benar, apalagi untuk satu patokan terakhir.

Terima kasih atas ceritanya, Mbah.  

0 komentar:

Posting Komentar